Semusim Melati

Selasa, 6 September 2022 17:26 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
SEMUSIM MELATI
Iklan

Keluarga. Cinta. Kasih sayang. Hanya itu. Salam baik saudaraku.

Sebuah kabar baru saja masuk ke ubunubunku. Seperti diguyur air pegunungan sedingin es. Bersyukur, otakku tidak membeku. Kabar itu, langsung mendekam di tempurung kepalaku. Merambat kiankemari.

Sembunyi di sejumlah selsel otak, entah sembunyi di sel otak sebelah kanan atau sebelah kiri. Seperti berpindahpindah dari otak kiri ke otak kanan, bolakbalik, terus menerus. Seolaholah tengah menarikan gerakkan abstraksi koreografi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Otakku, tidak mampu menangkap, mencoba mencerna kabar itu, menjadi makna lain, apapun. Asal jangan kabar itu. Tetap, tidak bisa. Hanya kabar itu. Bercokol menguasai otakku.

 "Ya..." Liris.
**
Kabar itu bukan malapetaka. Bukan pula takdir. Entah apa namanya. Datang begitu saja, lewat penjelasan medis dengan amat saksama. Namun tetap saja merancukan perasaanku. Kacaubalau, otak di tempurung kepalaku. Simpang siur, barangkali, kata itu agak tepat.

"Sudah makan?" Suaramu penuh semangat kehidupan. "Kalau menunggu si sulung atau si bungsu pulang. Lapar dahaga memanggilmanggil untuk kita segera makan. Mereka masih menyelesaikan tugastugas di kampus masingmasing." Aku kecup keningmu.

Kami menuju meja makan. Di rumah sederhana ini.

**

"Besok, kalau kau pulang. Jangan lupa menjinjing oleholeh. Buat si kecil. Sejak tadi sikunya mendorongdorong lapisan perutku kiankemari." Pesan itu, seringkali, ketika kau mengidam. Akan menunggu kepulanganku membawa sejinjing oleholeh. Dua puluh dua tahun lalu.

**

Suaramu, juga senyum manis itu, kini, masih memesona. Malam bertambah malam. Pagi menuju stasiun kereta dalam kota, menjadi siang lantas sore, membawaku pulang dengan sejinjing oleholeh buahbuahan.

Kegembiraan. Cinta. Kasih sayang. Terus terjaga.

**

"Harus banyak mengonsumsi buahbuahan ..." Ada halhal tak terucap, tentang kau dulu, lalu kini. Aku mengupas buah apel segar dengan cermat.

Kau mengunyah lembut buah apel pelahanlahan menikmati. Senyuman itu tak lepas dari raut ayu wajahmu. Aku menyuapi lagi. Satu demi satu potongan buah apel.

Tak terhitung seberapa besar kasih sayang telah berpaut. Aku kagum kepadamu. Kau begitu tenang menerima kabar, penjelasan detail medis itu.

Aku tidak boleh kalah. Benar, seolaholah aku harus tampak lebih kuat darimu. Meski sesungguhnya aku keok. Luluh lantak. Sesuatu di tubuhmu seharusnya untukku saja. Aku paham. Bukan coba memahami. Akhirakhir beberapa waktu lalu, sebelum awal kabar itu. Sesuatu itu, mungkin, telah berada di dalam tubuhmu. Membuat suhu tubuh naik turun. Emosimu tidak stabil.

Kini, aku sangat mengerti. Karena rasa nyeri itu, bagai sembilu mengerat, pedih menajam hampir serupa tertusuktusuk berpuluhpuluh jarum. Tinggal dua potong apel? Kau mengelusngelus kepalaku.

"Sudah cukup kenyang. Terima kasih." Kehidupan bergolak di matamu. Perlawanan kepada sesuatu itu.

**

Kedua anakku memelukku erat, satu persatu. Setelah keluar dari kamar tidur Ibundanya. Keduanya masih belum mau beranjak dari hadapanku.

Di mata dua lelaki muda ini, aku mencoba menerka. Seolaholah terlihat kekuatan perasaan mereka membara. Mencoba melipat keharuan kedalam perasaannya. Mungkin, untuk menguatkan sebuah harapan.

"Babe? Besok jam tujuh tiga puluh menit. Kita, mengantar Bunda ke Rumah Sakitkan?" Suara si sulung. Terasa getar jantungnya sampai menonjok dadaku. Kekuatan pandangan matanya seolaholah dia lebih kuat dariku. Sekilas, tetes air mata si bungsu menghujam lantai. Seakanakan menggambarkan ledakan perasaannya.

"Ya." Suaraku. Semangat. Keduanya belum mau beranjak dari tempatnya. "Ayo! Berangkat." Mengagetkan mereka. Kadangkala kami berangkat, bersama, menuju stasiun kereta dalam kota. Tak ada canda dalam kereta pagi ini, tak seperti biasanya. Si bungsu, kembali terlihat menundukkan kepala.

**

Syairsyair. Daun gugur setiap hari. Cuaca senantiasa berubahubah. Kala logika bermain dengan impianimpian, mungkin anganangan. Seakanakan realitas mengalir mengombak pasang surut. Menepi kepantai, kembali terayunayun angin, menuju harapan samudra.

Kurva horizon, menggaris langit sebatas mata hati memandang. Mega nan elok beterbangan, bak burungburung camar pulang berarakarakan meniti garis langit, lantas pergi lagi dari sarangnya. Menuju persinggahan ketentuan tujuantujuan.

Mungkin, karena hidup, barangkali, serupa perjuangan tanpa henti. Sejajar putaran jarum jam. Mungkin.

Malam, seiring waktu berangsurangsur menjadi dini hari, kembali pada permulaan sesuai ketentuan putaran gravitasi keseimbangan antar planetplanet. Kehidupan jagat raya, mengungkap kehadiran bintang timur berkerlipkerlip memanggil matahari.

Terang cuaca melukis langit mewarnai megamega. Berkilauan seindah keberagaman kasih sayang, menyatukan cinta negeri agraris. Tempat kami mengabdi pada kehidupan.

Rembulan menanti harapan, malam gemintang. Matahari memeluk sisi lain, mungkin separuh planet bumi. Doadoa menuju angkasa kemaslahatan, kesembuhan, kesehatan, cinta dalam untaian mutiara kasih sayang.

Maknamakna dalam ketentuan telah ditetapkan, sebagaimana, ketika cinta kasih telah dilahirkan. Benihbenih bertumbuh. Tetumbuhan mencipta bungabunga. Hutanhutan melukiskan kesegaran hijau jasmani. Semarak jingga paduan suara, nyanyian rohani cinta putih.

**

Perawat melintas. Mendorong ranjang Rumah Sakit, mengantarmu, memasuki pintu kokoh biru muda, instalasi steril bedah medis.

Kami, tiga lelaki, meminjam mata rajawalimu, menembus dindingdinding tebal, melihatmu, sepanjang koridor putih menuju ruangan bedah medis. Bersama matahari harapan. Ikhlas.

Dua belas jam kami menunggu bersama kesabaran. Lalu, tiga belas jam penuh kami bersama harapan kebaikan.

Semoga kau kembali seterang fajar menyingsing, sebening tetes embun di hutanhutan tropis negeri kita. Senantiasa kau kagumi, kala kita tik-tok ke gunung itu.

Sesampai di puncak pendakian, kau peluk aku. Kita, mengucapkan rasa syukur, atas persembahan negeri nan elok nian. Telah mendewasakan cinta, sepenuh kasih sayang untuk kita.

Kabar, dari instalasi steril bedah medis, akhirnya datang. Kondisi, Ibunda anakanakku baikbaik saja. Demikian kesimpulan singkat dari sekian panjang penjelasan detail medis serta perkembangan kesehatanmu sang ayu, pascaoperasi kelak. Menurut keterangan kepala tim dokter ahli, Rumah Sakit itu.

**

Mata air senantiasa memberi harapan kepada bumi. Sungaisungai meliukliuk dari hulu ke hilir pusaran muara. Menyatu lautan mengabarkan pada jagat raya, makna keseimbangan ekosistem.

Kesederhanaan harapan, menyulam citacita. Semoga, kesadaran dalam iman Ilahiah mampu menerima perubahan. Mungkin, seperti matahari bersama rembulan, senantiasa, saling memberi intensitas cahaya berbeda, namun, senantiasa pula menyatukan siang ataupun malam.

Aku masih duduk dilereng pendakian menuju puncak gunung ini. Disini, kau memberi wejanganwejangan kepada rombongan kampus. Bagaimana menjadi pendaki gunung, selalu, mematuhi ketentuan alam.

Tak mampu rasanya, mata ini tak mencuri pandang kepadamu. Ketika itu. Rugi rasanya, kalau sekejap saja tak melirik wajah ayumu.

Kalau aku melihatmu dari sisi sebelah sini, terlihat ujung hidungmu sedikit, lebih banyak telingamu menyembul di antara rambutmu. Kalau dari sisi sebelah sana ...

Tibatiba mata rajawalimu menangkap mataku. Secepat kilat itu pula, aku, membuang mukaku ke tanah. Meski perasaan terkesima, aku tanam dalamdalam di benakku, bersama sebuah doa, semoga dikabulkan.

Masih ada guratan pisau kecilmu, simbol kisahkisah tentang kita, di batu tempatku duduk kini. Menunggu lembayung mewarnai megamega di langit semesta. Memerah semu marun, pepohonan dari ketinggian ini. Hutanhutan tropis itu menyala kesuburan.

"Aku tak ingin pulang." Ketika itu. Katamu.

Empat belas bulan setelah itu kau melahirkan, anak lelaki, si sulung. Bima sakti bagai mengalunkan mazmurmazmur kegembiraan rasa syukur. Lagi, empat belas bulan setengah, kemudian, kau melahirkan anak lelaki, si bungsu. Doadoa dari para sahabat, kedua keluarga kita bertabur bintang. Semburat cahaya di hatimu menyalanyala.

**

Rangkaian melati, kau, selalu menyirami. Sepagi, sebagaimana setelah suara Maha Suci dari rumahrumah ibadah.

Urutan berikutnya adalah gunting kecilmu. Kau tak suka melihat rantingranting kering, lantas ada dedaunan layu tak jua gugur. Kau hanya ingin tetumbuhan bungabunga ditaman kecilmu, senantiasa tampak segar merona warnawarni.

Harapan hidup, meneliti rantingranting melati. Kesabaran memetik daundaun layu.

"Babe? Tolong gunting kecil." Lamunan, terkesiap oleh suara khasmu, masih tak berubah. Oh! Kau sudah berpindah dari depanku rupanya, bergeser ke sudut halaman kecil kita, di bawah pohon jambu.

Fatamorgana, seperti melintasi imaji. Kau kini di kursi roda. Aku berdiri di sampingmu. Seraya meletakkan gunting kecil di telapak tanganmu. Suhu tubuhmu menghangat lagi. Daya tanyaku berhenti di lidah, mulut terkatup, terkunci. Mata itu masih indah penuh kasih.

"Bagian mana dari rantingranting di antara daundaun itu, akan dipotong." Tanyaku, masih menggenggam telapak tanganmu. Suhu tubuhmu panas, bukan menghangat. Upaya menenangkan diri sendiri, sebetulnya.

"Boleh, aku saja?" Kilatan mata rajawali itu. Aku menggugu. Katamu lagi. "Kenapa ya Be. Daun kering ini tak mau gugur." Suara khasmu. Memang memukau. Lagi, aku hanya mengangguk. Senyuman perlawananmu pada sesuatu di tubuhmu. Terlihat sangat.

Aku mengecup ubunubunmu, mengelus lembut. Kau tengadah, matamu meminta sesuatu. "Bagaimana caranya, aku, bisa memotong ranting melati itu. Terlanjur bersusun, bersilangan dengan ujung ranting berdaun jambu di atasnya." Segera aku mengangkatmu pelahan. Kau telah di gendongan kedua lenganku.

"Maaf Babe. Terima kasih. Bisa agak tinggi sedikit lagi? Tegakkan saja tubuhku." Sesegera pula kau mengubah posisi akan menegakkan tubuh di gendongan kedua lenganku.

Kedua tanganmu bertumpu di kedua bahuku. Secepatnya kedua lenganku menumpu tubuhmu, lebih erat merapat ketubuhku. Kau teggak pelahan bagai berdiri.

"Wahai! Semesta nan elok. Kuatkan perasaanku." Benakku bersimpuh.

Dulu, kau mampu menolong. Ketika aku terperosok di humahuma lereng ketinggian pendakian. Secepat kilat pula kau ikatkan tali temali harness dengan sigap, mengikat erat, ketat. Kawankawan saling mengikat tali itu pula ke tubuh masingmasing, berurutan ditali temali itu.

Daypack, tersangkut rantingranting silang sengkarut, kau potong begitu saja. Lantas kau biarkan tercecer, tetap menyangkut di rantingranting itu.

Kau bersama kawankawan serentak menarikku keatas, sekuatkuatnya. Melemparkan aku sekenanya tak jauh di sampingmu. Di atas lereng berhumahuma itu. Lantas, mata beningmu, tajam menatap. Bak rajawali akan menerkam. Awal, kami dipertemukan oleh ketentuan fitrah-Mu.

"Mendaki gunung! Fokus, dengan mata." Dua jarimu menunjuk matamu.

"Maaf leader." Kembali mata rajawali itu menatap. Menembus mataku.

"Babe?" Lagi, aku terkesiap. "Fokus. Boleh, maju sedikit agar lebih dekat? Sejengkal lagi." Aku maju sejengkal. "Stop! Cukup. Terima kasih."

"Ya! Leader." Dalam benak, girang. Suara itu masih mengujarkan disiplin presisi.

"Babe?" Suara rajawali itu membuatku tengadah lebih cepat.

Oh! Jagat raya. Mata rajawali itu masih menerkam. Aku menurunkan tubuhmu pelahan, serta senyuman mata rajawali itu. Aku kembalikan ketempatnya semula.

***

Jabodetabek Indonesia, September 6, 2022.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Bronk

Minggu, 6 Juli 2025 17:50 WIB
img-content

Militerisme? Biarin Aja

Sabtu, 5 Juli 2025 14:29 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua